Kiprah dan Keteladanan Ketua Umum PB IDI: Dr. Kartono Mohamad dan Prof. Azrul Azwar
Oleh: Dr. Zaenal Abidin,S.H, M.H. (Ketua Umum PB IDI periode 2012-2015)
Sebagian dari tulisan ini sudah pernah penulis paparkan pada webinar Forkom IDI, pada 14 Agustus 2021 (menjelang 17 Agustus 2021). Untuk memperingati HUT Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ke-74 pada 2024 ini, atas permintaan Departemen Kajian Sejarah dan Kepahlawanan Dokter (PB IDI), maka penulis kembali menyajikan tentang sosok tokoh Dr. Kartono Mohamad dan Prof. Dr. Azrul Azwar. Sementara sosok TNI Brigadir Jenderal TNI (Purn.) Dr. R. H. Prof. Dr. Amino Gondohutomo, Ketua Umum PB IDI selama empat periode (1963-1966, 1966-1968, 1968-1970, dan 1974-1976) disajikan oleh narasumber lain.
Sejak IDI didirikan pada tahun 1950, hingga saat ini tercatat sebanyak 23 orang dokter yang pernah menjadi (mantan) Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Ditambah Dr. Moh. Adib Khumaidi yang saat ini masih menjabat sebagai Ketua Umum.
Semua senior mantan Ketua Umum PB IDI adalah tokoh yang hebat dengan kelebihannya masing-masing. Semuanya terpilih untuk memimpin IDI dan menjawab tentang organisasi pada masanya. Oleh karena itu, tentu tidak elok membandingkan antara satu dengan lainnya, apalagi membandingkannya dengan para tokoh pendiri IDI.
Izinkan penulis menyebut beberapa tokoh pendiri IDI, yang masih menjadi pekerjan rumah (PR) bagi PB IDI menulis biografinya. Misalnya, tokoh Dr. Abdoel Rasjid, Ketua PB Persatuan Thabib Indonesia (Perthabin). Peran Dr. Abdoel Rasjid juga sangat penting, sebab walau Dr. Darma Setiawan Notohadmojo dari Perkumpulan Dokter Indonesia (PDI) memiliki keinsyafan yang tinggi (sebagaimana dikatakan Dr. Bahder Djohan) ingin melebur menjadi satu organisasi, namun Dr. Abdoel Rasjid tidak memiliki keinsyafan yang sama, maka tidak mungkin dapat terbentuk satu organisasi profesi dokter di Indonesia, bernama Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Dan juga, kita perlu mengetahui siapa tokoh Dr. Seno Sastromidjojo yang pada pertemuan 30 Juli 1950 di rumah Dr. Soehato mengusulkan perlunya dibentuk panitia Muktamar Dokter Warga Negara Indonesia, yang diketuai Dr. Bahder Djohan. Muktamar yang kemudian berhasil memilih Dr. Sarwono Prawirohardjo menjadi Ketua Umum PB IDI yang pertama (1950-1951). Dr. Sarwono Prawirohardjo juga pendiri Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), menjadi Ketua yang pertama (1954-1963), terkenal sebagai ilmuan Indonesia dan Kepala LIPI pertama (1969-1973). Semua tokoh kunci pendirian IDI tersebut sangat penting ditulis agar diketahui oleh dokter anggota IDI dan seluruh masyarakat Indonesia.
Begitu pula peran para pendiri lain, yang namanya tertera pada akta pendirian IDI, 24 Oktober 1950, seperti Dr. Pirgandi, Dr. Azis Saleh (Mayjen Pur), Dr. Hadrianus Sinaga, Dr. Tang Eng Tie (Dr. Arief Sukardi) bendahara IDI yang ditugaskan mengumpulkan dana untuk membeli Gedung IDI, kini diberi nama Gedung Dr. R. Soehato, Jl. GSSY. Ratulangie No. 29 Menteng, Jakarta Pusat.
Selanjutnya, penulis kembali mengusulkan agar IDI memberi apresiasi khusus kepada tokoh kunci IDI dan kedokteran Indonesia, dengan menyematkan nama beliau sebagai nama Orasi IDI. Pada kepengurusan PB IDI 2012-2015 lalu, sudah berlangsung Orasi Soetomo pada Hari Bakti Dokter Indonesia, Orasi Wahidin Soedirohoesodo pada Muktamar IDI. Dan tahun ini pun telah dilakukan Orasi R. Soeharto pada Hari Ulang Tahun IDI.
Dan untuk Orasi Sarwono Prawirohardjo penulis usulkan untuk disampaikan pada setiap Rakernas IDI. Orasi tersebut hendaknya berisi pandang IDI terkait profesi dokter, terkait pendidikan dan pelayanan kesehatan di Indonesia, dan terkait soal-soal kemanusiaan baik nasional dan internasional. Keseluruhan orasi-orasi tersebut hendaknya dinarasikan, kemudian dibagikan kepada seluruh IDI Wilayah, Cabang dan Perhimpunan. Bahkan disiarkan melalui berbagai media agar dapat diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.
Mengapa para tokoh dokter dan pendiri IDI ini sangat penting? Sebab, tanpa mereka mendirikan IDI sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter di Indonesia dan menjadi refresentasi dokter Indonesia di dunia Internasional, tentu kita tidak akan tahu seperti apa wajah dokter Indonesia sekarang ini. Kita juga tidak akan tahu seperti apa pendidikan dan pelayanan kedokteran dan kesehatan kita saat ini.
Dr. Kartono Mohamad dan Prof. Azrul Azwar
Dalam rangka memperingati HUT IDI ke 74, hari ini saya diminta untuk menyampaikan materi Belajar dari Sosok Mantan Ketua Umum PB IDI, yakni: Dr. Kartono Mohamad dan Prof. Azrul Azwar.
Dr. Kartono lahir Batang Jawa Tengah, 13 Juli 1939. Lulus FKUI 1964 dan sempat bertugas sebagai dokter tentara (TNI AL) sampai 1975 dengan pangkat terakhir mayor. Dr. Kartono, pernah aktif di Perkumpulan Keluarga Berencana dan Kependudukan (Ketua Umum PKBI, periode 1990-1997), pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan, pengurus Yayasan AIDS, Pehimpunan Pemberantasan TBC Indonesia (PPTI), aktif dalam Koalisi untuk Indonesia Sehat, dan juga sangat aktif dalam gerakan pengendalian dampak tembakau bagi kesehatan. Dr. Kartono pernah menjadi anggota MPR RI Utusan Golongan (1987-1992). Bahkan beliau pun pernah mengajar di FK Trisakti.
Sementara Prof. Azrul lahir di Kutance (Aceh Tenggara), tanggal 6 Juni 1945. Setelah lulus FKUI 1972, ia lebih memilih berkarier sebagai tenaga pengajar di Almamaternya. Memperoleh gelar MPH dari School Public Health, University of Hawai. Menempuh program S3 di Universitas Indonesia dan mencapai gelar doktor (1991-1996). Selanjutnya, beliau menjadi Guru Besar Ilmu Kedokteran Komunitas. Dalam perjalanan kariernya ia pernah menjadi birokrat (Dirjen Binkesmas) Departemen Kesehatan RI. Pernah menjabat sebagai Dekan pertama Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dan Ketua Stikes Binawan.
Dr. Kartono berhasil mengubah wajah IDI yang sebelumnya menyerupai organisasi paguyuban, cenderung hura-hura menjadi organisasi profesi dokter yang dikenal masyarakat dan pemerintah secara nasional. Dr. Kartono membawa IDI tampil di tengah masyarakat dan menyuarakan kepentingan masyarakat. Salah satu gagasannya ketika itu, “Menyatukan dokter dengan Masyarakat.”
Jika Dr. Kartono berhasil mengenalkan IDI pentas nasional, maka Prof. Azrul melanjutkan dengan mengenalkan IDI di pentas internasional. Seperti diketahui, Prof. Azrul pernah menjadi Vice President MASEAN (1989-1990), pernah menjadi President CMAAO, dan juga President WMA (1990-1991). Tentu suatu prestasi yang sangat gemilang, sekaligus menujukkan bahwa Prof. Azrul mampu membawa nama IDI dan nama Indonesia di kanca internasional.
Prof Azrul juga pernah menjadi Ketua Umum Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI), Sekjen Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Sekretaris Eksekutif PKMI, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI), Ketua Umum Asean Scout Association for Regional Cooperation (ASARc) serta Ketua Umum Asean Regional Primary Health Care Cooperation (ARPAc), dan Ketua Umum Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
Meski banyak berkiprah dalam pergaulan internasional, bukan berarti perhatian Prof. Azrul kepada masyarakat Indonesia dan pembenahan internal IDI ditinggalkan. Pada masa kepemimpinan Prof. Azrul, IDI banyak aktif dalam program Keluarga Berencana. Bersama BKKBN mengembangkan Program KB Lingkaran Biru.
Di Internal IDI, kita bisa menemukan warisan priode Prof. Azrul menjadi Ketua Umum PB IDI, berupa buku Kompendium IDI, yang kemudian pada periode 2000-2003 dan 2003-2006, kompendiun yang berisikan pedoman pokok organisasi IDI ini direvisi guna menyesuaikan perubahan ART IDI dan juga perkembangan struktur dan kebutuhan organisasi IDI, menjadi buku Tata Laksana Organisasi IDI.
Dr. Kartono dan Prof. Azrul pernah secara bergantian menjadi Ketua Umum PB IDI. Dr. Kartono menjadi Ketua Umum (1985-1988 dan 1991-1994), sedang Prof. Azrul (1988-1991 dan 1994-1997). Tentu ini sangat fenomenal. Karena, hingga kini, kalau masyarakat bicara tentang IDI mereka selalu mengaitkan dengan Dr. Kartono dan Dr. Azrul.
Sampai akhir hayatnya Dr. Kartono dan Prof. Azrul masih terbilang aktif di berbagai organisasi sosial kemasyarakatan. Namun, yang menjadikan keduanya melagenda di tengah masyarakat Indonesia, saya yakin bukan hanya karena posisi pentingnya tersebut.
Sebab perlu dicatat, Dr. Kartono dan Prof. Azrul, memang telah menorehkan namanya sebagai tokoh pergerakan semenjak mahasiswa. Dr. Kartono dan Prof. Azrul terlibat aktif di organisasi intra universitas maupun ektra univesitas pada periode yang berbeda.
Dr. Kartono adalah Ketua Senat Mahasiwa FK-UI (1962) dan Ketua Dewan Mahasiswa UI (1963). Prof. Azrul pun demikian, pernah menjadi Ketua Senat Mahsiswa FK-UI dan Ketua Dewan Mahasiwa UI. Di organisasi mahasiswa ektra universitas, keduanya pernah menjadi aktivis dan fungsionaris organisasi mahasiswa tertua di Indonesia, yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Dr. Kartono menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Medika sejak didirikannya tahun 1975 . Dr, Kartono mengasuh rubrik kesehatan di majalah perempuan, radio, dan TV. Aktif menulis di harian Kompas sejak 1971- 2016, hinggal menghasilkan 200 artikel, yang kemudian dipilih 100 tulisan dan dibukukan dengan judul: “Dari Halal-Haramnya Rokok hingga Hukum Kebiri”.
Goenawan Mohamad (adiknya) menulis kolom di tempo.co, Senin, 4 Mei 2020, berjudul: “Kartono(1939-2020)”. Menurut Goenawan, “…ia bukan penulis yang berteriak, ia bisa berpolemik tanpa garang. Ia "lunak". Di masa kecilnya, ia berbeda dengan adiknya, tak pernah berkelahi, tak pernah belajar silat. Ia berbahasa Jawa kromo kepada Ibu.”
“Saya dan dia hampir tak pernah bertengkar, ia bahkan penolong. Ia yang berbahasa Inggris dengan baik karena diajari Bapak sejak di sekolah dasar, menerjemahkan buku seru, The Secret Aeroplane, untuk saya dalam tulisan tangan sewaktu ia di SMA. Kami bertengkar terutama hanya soal siapa yang pertama boleh baca buku pesanan yang datang dari Jakarta, terutama karya Karl May. Selebihnya, kami dua dari delapan anak terbiasa berbagi.”
“Mungkin dari kebiasaan berbagi itu, ketika menjadi dokter, Kartono tak suka praktik privat. Ia lebih tertarik menyorot kesehatan masyarakat, terutama kesehatan mereka yang mudah menjadi korban manipulasi industri farmasi atau tembakau.”
Prof. Azrul pun sangat aktif dalam dunia jurnalis. Pernah menjadi Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab Majalah Ilmu Kesehatan Masyarakat Indonesia. Banyak menulis artikel di koran, majalah dan jurnal ilmiah. Prof. Azrul menulis buku terkait profesi (IDI), masalah kesehatan, terkait dengan kelimuannya sebagai dokter ahli kesehatan masyarakat, maupun tentang pramuka.
Dr. Kartono wafat tanggal 28 April 2020 di RS. Pondok Indah Jakarta Selatan karena sakit. Sedang Prof. Azrul wafat lebih dahulu tanggal 1 April 2014 di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, juga karena sakit. Semoga Allah menerima seluruh amal Dr. Kartono Mohamad dan Prof. Azrul Azwar dan menempatkannya di tempat yang terbaik di sisi-Nya. Aamiin.
Penulis menyarankan agar informasi yang penulis sampaikan dapat di cross check kepada keluarga dekat Dr. Kartono dan Prof. Azrul. Kepada istrinya, anak-anaknya, saudaranya. Terkait keaktifan keduanya di Ikatan Dokter Indonesia tentu dapat diperdalam dengan menanyakan guru dan senior yang sepengurusan beliau berdua di IDI, seperti dr. Merdias Almatsier, dan lainnya.
Mungkin juga keaktifan beliau berdua di IDI dapat ditanyakan langsung kepada Mba Dien (Dra. Dien Kuswardani). Mba Dien adalah saksi hidup tentang perjalanan IDI (khusunya PB IDI), yang boleh jadi tidak diketahui banyak orang, sehingganya tidak pernah dijadikan sebagai sumber informasi tentang IDI.
Penutup
Ketika Dr. Karono dan Prof. Azrul masih hidup, penulis dan pengurus PB IDI lain sering bertandang dan bersilaturrahim ke rumah kediaman kedua tokoh tersebut. Buku-buku koleksinya sangat banyak. Saat sakit menjelang wafatnya, kami bersilaturrahim ke rumah Dr. Kartono maupun Prof. Azrul. Keduanya masih meladeni kami ngobrol tentang IDI, tentang profesi kedokteran Indonesia, dan tentang masalah kesehatan di tanah air.
Dr. Kartono dan Prof. Azrul adalah aktivis sejati dan penulis yang produktif. Kegemaran menulis telah dimulai sejak keduanya menjadi mahasiwa atau bahkan sebelumnya. Artikel dan bukunya karyanya masih dapat baca sampai saat ini.
Tulisannya, bukan hanya dibaca oleh kalangan terbatas (profesi dan akademisi) namun juga mampu dicerna oleh masyarakat umum. Mereka berdua bukan sekadar penulis tapi juga menjadi pemimpin redaksi majalah kesehatan, sebagaimana disebutkan di atas.
Selain memperbanyak aktivitas kemanusiaan, kemampuan menuliskan gagasannya menjadikan Dr. Kartono dan Prof. Azrul dikenal dan dikenang banyak orang. Keduanya dapat “hidup lama” lebih panjang dari usia fisiknya.
Oleh karena itu, nasihat inspiratif bagi kita semua adalah: “Bila kalian ingin dikenang lebih lama berbuat baik dan menulislah. Tulis dan dokumentasikan apa yang kalian ketahui, apa yang kalian alami dan perbuat. Tulislah gagasan yang menumpuk di kepala kalian, seperti yang telah contohkan oleh Dr. Kartono dan Prof. Azrul.” Billahit Taufik Walhidayah.
Jatiasih-Bekasi, 27 Oktober 2024